top of page

Program SMK 3+4 Taiwan harus di KRITIK!

Hengji Wu

13 Sep 2025

Keresahan Saya tentang Program SMK 3+4 di Taiwan

Saya gelisah melihat semakin banyak lulusan SMA/SMK Indonesia “turun kelas” kembali duduk di SMK tingkat 1 di Taiwan lewat skema 3+4. Secara waktu, alurnya menjadi tidak efisien: 3 tahun SMK di Taiwan + 4 tahun kuliah = 7 tahun setelah siswa sudah menyelesaikan 3 tahun SMA/SMK di Indonesia. Alhasil, banyak yang baru lulus S1 di usia ±25 tahun, padahal idealnya ±22 tahun. Di era yang sangat cepat berubah, penundaan 3 tahun ini berarti kehilangan momentum belajar, adaptasi industri, dan kesempatan kerja yang relevan setiap tahunnya.


Mengapa ini bermasalah?

  • Redundansi jenjang. Lulusan SMA/SMK yang sudah menyelesaikan kompetensi dasar kembali ke tingkat awal SMK, bukan ke jalur yang secara akademik menantang setara level pascalulusan SMA.

  • Opportunity cost tinggi. Tiga tahun tambahan sebelum kuliah berarti menunda pengalaman magang tingkat universitas, riset, sertifikasi profesional, dan penghasilan pertama.

  • Mismatch kebutuhan industri. SDM yang baru “siap kerja” di usia lebih tua, sementara kebutuhan skill berubah cepat tiap tahun (AI, otomasi, green jobs, dsb.), membuat kurva kesiapan tertinggal.


Sasaran Ideal Program (Sesuai Rujukan Resmi Taiwan)

Jika merujuk dokumen pemerintah Taiwan, sasaran rekrutmen 3+4 sebenarnya adalah lulusan setara SMP (華校初中/usia ≥16) untuk menempuh 3 tahun teknik/vokasi + 4 tahun perguruan tinggi—bukan lulusan SMA/SMK. Artinya, sejak awal desain program memang untuk usia 15–16 tahun yang akan memulai pendidikan vokasi dari nol di Taiwan. National Development Council+1


Usulan Perbaikan Kebijakan & Praktik

  1. Segmentasi usia yang tepat. Arahkan program 3+4 khusus untuk lulusan SMP (15–16 tahun) sesuai rancangannya. Untuk lulusan SMA/SMK, sediakan jalur langsung ke D3/S1 terapan atau bridging 1 tahun (bahasa + keterampilan khusus) lalu ke universitas, bukan kembali ke SMK. National Development Council

  2. Penguatan prasyarat bahasa Mandarin sejak SMP. Selenggarakan persiapan 1–2 tahun (listening–speaking–reading–writing) di Indonesia agar siswa mampu mengikuti SMK di Taiwan secara efektif, alih-alih “belajar bahasa sambil sekolah dasar vokasi”. Program resmi OCAC sendiri menekankan peningkatan kemahiran bahasa sebagai prasyarat keberhasilan studi, sehingga persiapan dini sejalan dengan tujuan itu. OCAC+1

  3. Transparansi jalur karier & akademik. Untuk lulusan SMA/SMK, publikasi jalur RPL/credit transfer dan outcome kerja yang benar-benar setara (gaji, izin kerja, jenjang lanjut) agar mereka tidak kehilangan tiga tahun tanpa nilai tambah akademik.

Rujukan Kritik dari Taiwan (Isu “Pendidikan jadi bungkus tenaga kerja”)

Sejumlah media arus utama di Taiwan menyorot praktik di lapangan:

  • Investigasi The Reporter (報導者) menulis bagaimana siswa 3+4 ditempatkan di puluhan SMK swasta, bahasa lemah, hidup berkelompok, dan banyak waktu praktik kerja, hingga disebut “tenaga kerja tak terlihat” di layanan sehari-hari. Laporan lain mengulas bagaimana program ini juga menjadi “penyelamat” bagi SMK swasta yang kekurangan murid karena penurunan angka kelahiran, memicu perburuan siswa dan potensi konflik kepentingan dengan peran perantara. The Reporter+1

  • CommonWealth Magazine (天下雜誌) menyoroti kritik publik tentang kombinasi subsidi besar, harapan “belajar sambil kerja”, rantai kepentingan agen, hingga rendahnya retensi tinggal setelah lulus—menegaskan perlunya perbaikan agar hak belajar dan hak kerja siswa tidak kabur. CW+1


Temuan-temuan ini bukan anti-Taiwan; justru menjadi cermin bersama agar program benar-benar pendidikan—bukan sekadar kanal tenaga kerja murah dengan label akademik.


Penutup

Saya mendukung siswa Indonesia berkarier akademik dan profesional di Taiwan. Namun penempatan lulusan SMA/SMK kembali ke SMK tingkat 1 membuat mereka kehilangan waktu berharga. Solusi yang lebih adil dan efektif:

  • Program 3+4 khusus untuk lulusan SMP (15–16 tahun) dengan persiapan Mandarin sejak dini.

  • Untuk lulusan SMA/SMK: jalur bridging → D3/S1 atau rekognisi kredit agar tidak mengulang kompetensi dasar.

  • Transparansi penuh: tautan pengumuman resmi, target usia, kurikulum, proporsi belajar vs. kerja, dan outcome karier.


Dengan langkah ini, kita menghormati ijazah SMA/SMK Indonesia, menjaga martabat guru dan sekolah, sekaligus memastikan anak didik tidak kehilangan tiga tahun di era yang bergerak cepat.


Hengky Albert Waroka Tjia

bottom of page